Disebuah desa di kabupaten Lebak, Banten, tinggalah
sebuah keluarga petani miskin. Sang ayah, Dullah, sehari-harinya bekerja
sebagai buruh penyadap getah karet, sedangkan ibu, Jannah, hanya pedagang telur
kampung keliling. Pasutri ini dikaruniai 3 orang putra remaja, yang semuanya
cacat. Kaki ketiga remaja ini mengecil sejak usia kanak-kanak. Sehingga
ketiganya tidak mampu untuk berjalan dan hanya mengandalkan kedua tangannya
saja.
Sungguh mengenaskan sekali kehidupan keluarga ini,
kemiskinan dan kelumpuhan yang menguji, seakan tidak pernah hengkang dari
kehidupan mereka.
Sebenarnya ketiga putra Dullah dahulunya adalah
anak-anak yang sangat lincah dan dinamis. Mereka sempat bersekolah, walau tidak
satupun lulus sekolah dasar. Diusia 10 tahun mulailah satu-satu putra Dullah
diserang penyakit aneh, kaki mereka mulai melemah, mengecil dan akhirnya
lumpuh.
Walau demikian ujian yang Allah berikan kepada
Dullah, Jannah dan putra-putra mereka, tidak membuat mereka mengeluh dan
melupakan Allah SWT.
Dullah, sepulang menyadap getah karet dihutan,
setiap menjelang shalat Ashar, ia menyapu, membersihkan dan mengumandangkan
Adzan di masjid dekat rumahnya. Sedangkan Jannah, setia mengajarkan mengaji
kepada anak-anak didesanya.
Putra-putra mereka, terkenal sebagi pelantun
ayat-ayat Al-Qur’an yang terkenal fasih dan merdu suaranya.
Suatu ketika perusahaan yang menjadi tempat Dullah bekerja,
mengadakan kunjungan ketempat tinggal Dullah yang reot dan memprihatinkan. Kunjungan
ini berlanjut dengan bantuan sembako dan perbaikan rumah.
Bukan main sukacitanya hati Dullah atas rizqi yang
datang beruntun. Puji dan syukur terus diucapkannya di dalam setiap shalat.
Bantuan itu sendiri bukanlah tanpa alasan.
Perusahaan karet yang merasa puas atas hasil kerja Dullah merealisasikan rasa
terimakasih mereka lewat bantuan-bantuan tadi.
Setelah rumahnya selesai diperbaiki, salah satu
utusan perusahaan, datang dan bertanya kepada Dullah. ”Pak Dullah, setelah beberapa
kemudahan dan ni’mat yang telah bapak terima ini, adakah lagi yang akan bapak
minta kepada Allah dalam ibadah dan doa bapak?
”Ada ”,
jawab Dullah setelah terdiam sejenak.
”Apakah itu, kalau boleh kami tahu?”, tanya utusan
tadi.
”Bila Allah mengijinkan, aku ingin Allah
memberikanku ujian lagi”, jawab Dullah.
”Masya Allah, aneh benar permintaanmu itu, pak.
Biasanya orang berdoa, agar Allah memberikan lagi rizqi yang lebih banyak,
lebih baik dan lebih barokah. Mengapa justru bapak berdoa seperti itu”, tanya
utusan dengan wajah keheranan.
”Ujian juga sebuah rizqi, karena apapun yang Allah
beri, semuanya adalah karena Rahmat dan RohimNya kepada ku. Dengan adanya
ujian, membuat aku tetap sadar dan bersyukur. Ujian melatih aku untuk tetap kuat
dan istiqomah. Dan ujian membuat aku lebih tuma’nina dan belajar dzuhud”, jawab
Dullah dengan mata berkaca-kaca penuh syukur kepada Allah.
Utusan perusahaan itu lalu memeluk dan mencium
tangan Dullah, atas kekagumannya pada hati dan ucapan Dullah.
Setiap
diri pasti berharap hal-hal yang baik dan lebih baik.
Tidak satupun insan siap dan mau menerima
hal-hal yang buruk atau merugikan dirinya.
Karena bila peristiwa menyedihkan itu datang
menghampiri,
manusia menjadi rapuh dan terkoyak.
Melatih diri menerima kekurangan,
menjadikan insan tahan uji.
Sehingga bila kebaikan datang menghampiri,
tidak menjadikan diri lupa untuk
tetap bersyukur, istiqomah, rendah hati dan
tawakal.
"Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku
niscaya Aku
ingat (pula) kepadamu,
dan bersyukurlah kepada-Ku,
dan janganlah kamu
mengingkari (ni`mat)-Ku."
( Al-Baqarah [2]: 152)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar