Walau serba berkekurangan, walau sehari-hari mereka hanya makan nasi dengan lauk tahu dan tempe saja, Fatir dan Nayla berusaha untuk tabah dan bersyukur dengan rizqi yang mereka dapat.
Sampai tiba di suatu ketika, kala Nayla jatuh sakit.
Sakit Nayla ternyata cukup parah. Sudah seminggu itu penyakitnya tidak sembuh-sembuh juga, sementara tidak ada lagi uang untuk berobat. Fatir pun mulai panik dan bingung.
Sambil menahan rasa sakitnya, Nayla mencoba menenangkan suaminya yang tengah kebingungan, ”Bang, cobalah kau ke saudaramu di kota, mungkin ia bisa membantu meringankan biaya berobat ku ini”.
Baiklah, besok abang kesana, kau baik-baiklah dirumah ya, dik”, kata Fatir menyetujui saran istrinya tadi.
Esoknya, pagi-pagi sekali, Fatir pun berangkat. Sambil mengucapkan Bismillahiladzi”, ia melangkahkan kakinya menuju kota.
Belum jauh ia meninggalkan rumah dilihatnya sebuah pohon besar. Dibawah pohon itu, tampak banyak berserakan bekas sesajenan.
"Astaghfirullaahal azhiim, ini perbuatan syirik, harus diberantas”, ujar Fatir dalam hatinya. ”Akan ku tebang pohon berhala ini." Bergegas ia kembali pulang, untuk mengambil kapak.
Saat tiba dirumah, Nayla heran melihat suaminya sudah pulang.
”Ada yang ketinggalan ya, bang?”, tanyanya.
”Tidak, tapi ada yang harus ku selesaikan dulu”, jawab Fatir, sambil mengambil kapak dari kotak perkakas. ”Sebentar, tidak lama koq.” Dan langsung berangkat lagi, meninggalkan Nayla yang masih terheran-heran.
Saat Fatir hendak mengayunkan kapaknya ke pohon berhala itu, tiba-tiba muncullah seorang kakek tua, dari balik pohon itu. Dialah Iblis Laknatullah yang menyamar.
"Hai kisanak, apa yang kau perbuat?" tanya sang iblis.
”Siapa kau kakek tua, berani mencampuri urusanku?”, Fatir balik bertanya.
”Aku ini iblis”, jawab iblis merendah.
”Hmm... Aku mau menebang pohon berhala ini, kek. Jangan kau halangi niat ku ini”, kata Fatir. ”Karena pohon ini membuat kaumku menjadi sesat.”
”Jangan, anak muda, jangan kau tebang pohon itu”, cegah iblis.
”Harus! Syirik harus diberantas”, tegas Fatir sambil mengayunkan kapaknya.
”Jangan!”, cegah iblis, lalu berusaha merebut kapak dari tangan Fatir.
”Harus!”, tegas Fatir lagi, sambil mempertahankan kapaknya.
”Jangaaan!!!”
”Haruuus!!!”
Akhirnya mereka berkelahi.
Perkelahian tidak berlangsung lama. Karena penyamarannya sebagai kakek tua dan semangat jihad Fatir, akhirnya iblis pun kalah.
Sambil meringis kesakitan, iblis mengiba, ”Baiklah kisanak, aku menyerah kalah, aku tidak akan menghalangi niatmu untuk menebang pohon ini, silahkan... Namun, kalau kau tebang pohon ini, tidak ada tempat lagi aku untuk berteduh.”
”Oh... disini tempatmu tinggal, kakek tua. Tetapi aku tidak melihat sebuah rumah disini”, ucap Fatir terkejut sekaligus heran.
”Begini saja, aku tahu kisanak sedang memerlukan uang, untuk biaya pengobatan istrimu”, kata iblis, tanpa memperdulikan keterkejutan Fatir. ”Sekarang kau pulang lah, tidak perlu lagi engkau kekota. Mulai besok, setiap selesai shalat Subuh, kau akan mendapatkan uang Rp. 10.000.000,-, dibawah sajadahmu. Syaratnya, jangan kau buka atau kau angkat sajadah itu, cukup kau masukan tanganmu dibawah sajadah dan kau raba. Ingat syarat itu baik-baik”.
Belum sempat Fatir berbicara, kakek tua tadi sudah menghilang. Tinggallah Fatir termangu-mangu.
”Benarkah ucapan kakek tadi, bahwa setiap selesai shalat Subuh, aku akan mendapatkan uang Rp. 10.000.000,-? Ah, masa iya, aku tak percaya”, kata Fatir dalam hatinya.
Sambil melangkah pulang, Fatir terus memikirkan kata-kata iblis tadi. Niatnya untuk menebang pohon berhala pun terlupakan.
Demikianlah, esok harinya setelah shalat Subuh, Fatir meraba bawah sajadahnya, dan... disana ditemukannya uang Rp 10.000.000,-.
Dengan mata terbelalak dan mulut menganga saking terkejutnya, ia memanggil istrinya dengan berteriak-teriak, ”NAYLA... NAYLA, kemarilah. Lihat apa yang ku dapatkan ini!”
”Ada apa sih, bang. Subuh-subuh begini sudah berteriak-teriak, seperti orang kebakaran jenggot saja. Nanti didengar tetangga tuh”, gerutu Nayla menghampiri.
”Lihat ini, lihatlah”, kata Fatir sambil mengambil uang tersebut dan menunjukkannya pada istrinya.
”Uang, bang. Uang siapakah itu? Banyak sekali. Kamu tidak mencuri kan, bang”, celoteh Nayla yang tidak kalah terkejutnya melihat uang sebanyak itu.
Selanjutnya uang itu lalu dipergunakan untuk berobat dan keperluan lainnya. Dan seperti janji sang iblis, maka setiap selesai shalat Subuh, Fatir tetap menemukan uang dengan jumlah yang sama, yaitu Rp. 10.000.000,-.
---***---
Kehidupannyapun drastis berubah, Fatir tidak perlu lagi bekerja keras sebagai pemulung. Mereka juga dapat membeli tanah dan membangun rumah sendiri, tidak perlu mengontrak lagi. Istrinya bisa membeli emas dan perhiasan lainnya.
Begitu pula dengan cara berpakaian dan pola makan, ikut juga berubah. Tidak hanya tahu dan tempe teman makan mereka, kini mereka bisa menikmati ayam, daging, susu dan telur.
Namun..., kenikmatan itu tidaklah berlangsung lama.
Subuh itu, seperti biasa, saat Fatir selesai menunaikan shalat Subuh, dirabanya bawah sajadah. Namun kali ini berbeda, tidak ditemukannya uang disana. Penasaran, diulanginya lagi meraba. Tetap tidak ada uang seperti yang ia nikmati selama satu bulan itu.
”Mungkin Subuh besok, uang itu kembali tersedia disana, dibawah sajadah”, kata Fatir menghibur diri. ”Lagi pula, uang yang kemarin masih cukup untuk beberapa minggu kedepan.”
Namun, besoknya... besoknya dan besoknya lagi, uang Rp. 10.000.000,-, tetap tidak lagi ia temukan. Dengan kesal bercampur marah, diangkatnya dan dicampakkannya sajadah itu.
Hari-haripun berlalu, hingga akhirnya uang persediaannyapun habis. Perlahan-lahan semua yang dimiliki; tanah, rumah hingga perhiasan, ludes terjual. Mereka kembali jatuh miskin.
Mau tidak mau, Fatir kembali menekuni profesi lamanya sebagai pemulung.
Kini Fatir terlihat nelangsa, hatinya gundah. Terlintas kembali, saat ia bertemu kakek yang iblis itu.
”Penipu!”, makinya dalam hati.
Tiba-tiba ia mengambil kapak, dan bergegas pergi menuju pohon berhala yang dulu hendak ditebangnya.
Melihat suaminya terburu-buru pergi, Nayla berteriak, ”Mau kemana kau, bang?”
”Ada yang harusnya sudah ku selesaikan tiga bulan yang lalu, tunggulah kau dirumah, ya dik”, balas Fatir mempercepat langkahnya.
Setengah berlari Fatir menghampiri pohon berhala itu, dan segera mengayunkan kapaknya. Tiba-tiba kakek iblis itu muncul lagi dan bertanya, ”Mau apa lagi kau sekarang?".
”Aku mau menebang pohon berhala ini, yang seharusnya sudah kulakukan tiga bulan yang lalu”, jawab Fatir.
”Jangan..., jangan kau tebang pohon itu!”, cegah kakek lalu merebut kapak yang digenggam Fatir.
”Harus!”, tegas Fatir, sambil mempertahankan kapaknya.
”Jangaaan!!!”
”Haruuus!!!”
Mereka kembali berkelahi.
Perkelahian tidak berlangsung lama. Kali ini walau sang kakek terlihat tua, namun ia berhasil memenangkan perkelahian tersebut.
Sambil meringis kesakitan, Fatir bertanya, "Dulu aku dapat mengalahkanmu dengan mudah, mengapa sekarang kau seperti memiliki kekuatan luar biasa, kek?”
”Begini kisanak, dulu kau datang kemari, dipenuhi jihad karena Allah Ta’ala. Walau ku kerahkan seluruh balatentara ku sekalipun, aku tetap takkan mampu mengalahkanmu”, jelas iblis. ”Namun sekarang, kau datang kemari, karena kekecewaanmu tidak lagi mendapatkan uang dibawah sajadahmu, setiap selesai shalat Subuh.”
”Jadi biarpun kau keluarkan seluruh kemampuanmu, tidak mungkin kau mampu mengalahkan aku. Pulang sana! Kalau tidak, kupatahkan nanti batang lehermu!", gertak iblis sambil tertawa menang.
Dengan terhuyung-huyung, Fatir kembali kerumah, dengan diliputi rasa berdosa dan malu luarbiasa kepada Allah.
Dahulu dengan keikhlasan penuh jihad, walau ia miskin, ia terpanggil untuk menghapus kemusyrikan, semata-mata karena Allah Ta’ala. Namun, kini ia kembali bukan karena jihad yang tulus, bukan karena membela agama Allah. Ia kembali karena ia jatuh miskin lagi.
Dulu ia shalat Subuh, sebagai hamba Allah yang tulus, kini ia shalat Subuh sebagai hamba yang ’bulus’, penuh pamrih.
Begitu pula dengan cara berpakaian dan pola makan, ikut juga berubah. Tidak hanya tahu dan tempe teman makan mereka, kini mereka bisa menikmati ayam, daging, susu dan telur.
Namun..., kenikmatan itu tidaklah berlangsung lama.
Subuh itu, seperti biasa, saat Fatir selesai menunaikan shalat Subuh, dirabanya bawah sajadah. Namun kali ini berbeda, tidak ditemukannya uang disana. Penasaran, diulanginya lagi meraba. Tetap tidak ada uang seperti yang ia nikmati selama satu bulan itu.
”Mungkin Subuh besok, uang itu kembali tersedia disana, dibawah sajadah”, kata Fatir menghibur diri. ”Lagi pula, uang yang kemarin masih cukup untuk beberapa minggu kedepan.”
Namun, besoknya... besoknya dan besoknya lagi, uang Rp. 10.000.000,-, tetap tidak lagi ia temukan. Dengan kesal bercampur marah, diangkatnya dan dicampakkannya sajadah itu.
Hari-haripun berlalu, hingga akhirnya uang persediaannyapun habis. Perlahan-lahan semua yang dimiliki; tanah, rumah hingga perhiasan, ludes terjual. Mereka kembali jatuh miskin.
Mau tidak mau, Fatir kembali menekuni profesi lamanya sebagai pemulung.
Kini Fatir terlihat nelangsa, hatinya gundah. Terlintas kembali, saat ia bertemu kakek yang iblis itu.
”Penipu!”, makinya dalam hati.
Tiba-tiba ia mengambil kapak, dan bergegas pergi menuju pohon berhala yang dulu hendak ditebangnya.
Melihat suaminya terburu-buru pergi, Nayla berteriak, ”Mau kemana kau, bang?”
”Ada yang harusnya sudah ku selesaikan tiga bulan yang lalu, tunggulah kau dirumah, ya dik”, balas Fatir mempercepat langkahnya.
Setengah berlari Fatir menghampiri pohon berhala itu, dan segera mengayunkan kapaknya. Tiba-tiba kakek iblis itu muncul lagi dan bertanya, ”Mau apa lagi kau sekarang?".
”Aku mau menebang pohon berhala ini, yang seharusnya sudah kulakukan tiga bulan yang lalu”, jawab Fatir.
”Jangan..., jangan kau tebang pohon itu!”, cegah kakek lalu merebut kapak yang digenggam Fatir.
”Harus!”, tegas Fatir, sambil mempertahankan kapaknya.
”Jangaaan!!!”
”Haruuus!!!”
Mereka kembali berkelahi.
Perkelahian tidak berlangsung lama. Kali ini walau sang kakek terlihat tua, namun ia berhasil memenangkan perkelahian tersebut.
Sambil meringis kesakitan, Fatir bertanya, "Dulu aku dapat mengalahkanmu dengan mudah, mengapa sekarang kau seperti memiliki kekuatan luar biasa, kek?”
”Begini kisanak, dulu kau datang kemari, dipenuhi jihad karena Allah Ta’ala. Walau ku kerahkan seluruh balatentara ku sekalipun, aku tetap takkan mampu mengalahkanmu”, jelas iblis. ”Namun sekarang, kau datang kemari, karena kekecewaanmu tidak lagi mendapatkan uang dibawah sajadahmu, setiap selesai shalat Subuh.”
”Jadi biarpun kau keluarkan seluruh kemampuanmu, tidak mungkin kau mampu mengalahkan aku. Pulang sana! Kalau tidak, kupatahkan nanti batang lehermu!", gertak iblis sambil tertawa menang.
Dengan terhuyung-huyung, Fatir kembali kerumah, dengan diliputi rasa berdosa dan malu luarbiasa kepada Allah.
Dahulu dengan keikhlasan penuh jihad, walau ia miskin, ia terpanggil untuk menghapus kemusyrikan, semata-mata karena Allah Ta’ala. Namun, kini ia kembali bukan karena jihad yang tulus, bukan karena membela agama Allah. Ia kembali karena ia jatuh miskin lagi.
Dulu ia shalat Subuh, sebagai hamba Allah yang tulus, kini ia shalat Subuh sebagai hamba yang ’bulus’, penuh pamrih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar