Pasti kalian mengetahui seorang Imam pendiri Mazhab Syafi’i. Beliau adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi’ī yang akrab dipanggil Imam Syafi'i ra. Beliau dilahirkan di Ashkelon, Gaza, Palestina, pada tahun 150 H (767 M).
Nashab (silsilah) Imam Syafi'i adalah, Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin As-Saaib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Muthallib bin Abdi Manaf.
Ayahnya bernama Idris, sedang ibunya adalah Fathimah.
Beliau masih kerabat Rasulullah, dari pihak ayah digaris Abdi Manaf, sedangkan dari pihak ibu, beliau adalah cicit dari Ali bin Abi Talib.
Jadi, beliau termasuk bangsawan Quraisy.
Imam Syafi’i terlahir dalam keadaan yatim, ayahnya wafat pada saat beliau masih dalam kandungan, tak lama setelah pindah dari Makkah ke Gaza. Di usia 2 tahun, beliau diboyong ibunya kembali ke Makkah.
Masa kecil Imam Syafi’i, hidup dalam keadaan prihatin alias serba kekurangan. Sampai-sampai untuk belajar, beliau mengumpulkan kertas-kertas bekas menjadi buku dan tulang-tulang sebagai alat mencatat pelajarannya.
Di kisahkan, ketika Imam Syafi’i muda menuntut ilmu kepada Imam Malik ra., di Madinah, beliau selalu duduk di barisan paling belakang. Karena tidak memiliki buku dan alat tulis, membuat Imam Syafi’i menulis hanya dengan jari dan telapak tangannya menjadi buku.
Suatu saat, Imam Malik memperhatikan beliau yang tengah menulis dengan jari di telapak tangannya.
Ketika semua santri telah pulang, Imam Malik memanggil dan bertanya, ”Aku melihat engkau tadi mempermainkan jari ke telapak tanganmu”.
”Wahai Abah, aku tidak sedang memainkan jari, tetapi aku menulis hadits yang engkau imlakkan tadi. Kalau Abah mau, biar aku mengulangi kembali”, jawab Imam Syafi’i.
Dengan senyum bijak, Imam Malik berkata, “Sebutkanlah”.
Sejenak kemudian, Imam Syafi’i, menyebutkan seluruh hadits yang telah diimlakkan tadi dengan lancar dan sempurna. Terkagum-kagumlah Imam Malik akan kepintaran santrinya yang satu ini.
Sahabat…
Tekad dan ketekunan Imam Syafi’i, sungguhlah mengagumkan.
Walau keberadaan beliau yang miskin, tidak membuat semangatnya surut untuk menuntut ilmu. Dengan menahan panas dan dingin, ia tetap mendatangi para Ulama yang jauh dari kampungnya, hanya untuk menimba ilmu agama.
Imam Syafi’i wafat di Fusthat, Mesir, pada tahun 204 H (819 M).
“Manusia yang paling tinggi kedudukannya adalah mereka yang merasa tidak melihat kedudukan dalam dirinya, sedangkan manusia yang paling banyak memiliki kelebihan justru mereka yang merasa tidak memiliki apa-apa dalam dirinya.”
-Imam Asy-Syafi’i-
Disadur dan di edit dari berbagai sumber.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar