Menanjak remaja, sebagaimana rekan-rekan sedesanya, Fadli mengenyam pendidikan pesantren. Bahkan setelah lulus dari sana, keluarganya lalu memberangkatkan Haji dirinya. Ia lalu melanjutkan pendidikannya ke sebuah Universitas di Kota yang jaraknya cukup lumayan dari kampung halamannya.
Setelah dewasa, Fadli kemudian bekerja sebagai Akuntan disebuah perusahaan properti.
Tidak terasa 7 tahun pun berlalu, Fadli muda yang mapan lalu berkenalan dengan seorang gadis, Ayu namanya. Wanita yang bekerja sebagai Konsultan Gizi, ternyata berhasil mencuri hati Fadli. Sayangnya mereka berbeda keyakinan. Ayu adalah seorang pemeluk Katolik yang taat.
Mereka lalu memutuskan untuk menikah, walau tentunya keluarga besar Fadli, menentang berat. Dan demi mempersunting gadis pujaan hatinya, ia rela ’murtad’. Kini ia Katolik, dengan nama baptisnya Ferdinand.
Dari pernikahan tersebut, Fadli yang kini dipanggil Ferdi, dikaruniai dua putri yang lucu dan cantik. Mereka hidup bahagia dirumah mertua Ferdi di Kota.
Waktu pun berlalu, anak-anak Ferdi kini telah dewasa. Si sulung, Christine, telah menginjak usia 21 tahun dan telah memiliki seorang kekasih yang bernama Mu’az. Pemuda ini ternyata seorang Muslim tha’at, yang sangat mencintai agamanya.
Suatu sore, saat Mu’az ’wakuncar’ (wajib kunjung pacar), Ferdi menyempatkan diri berbincang-bincang dengannya.
”Om ini dulunya Islam juga loh, Mu’az”, ucap Ferdi pada Mu’az.
”Kenapa Om, menjadi Katolik?”, tanya Mu’az kemudian.
”Begini Mu’az, di dalam Islam itu tidak ada ’Kasih’, dan itu Om temukan didalam Katolik”, jawab Ferdi dengan penuh keyakinan.
Mendengar jawaban Ferdi, Mu’az menarik nafas dan berkata, ”Om, tidak benar pendapat om, bahwa didalam Islam tidak ada ’Kasih’. Ma’af Om, kalau saya lancang”.
”Tidak apa-apa, silahkan teruskan pandangan mu”, kata Ferdi menunggu.
”Om, bila didalam Katolik itu ada ’Kasih’, maka di dalam Islam ada Shabar, sebagaimana Allah berfirman, ’Innallaaha ma’ash shaabiriin’, yang artinya ’... sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang shabar’ (Al-Baqarah [2]: 153b)”, lanjut Mu’az penuh hati-hati. ”Nah, Kasih itu sendiri adalah unsur dari Shabar. Karena didalam Shabar terdapat sedikitnya 9 unsur yang menyatu, bagaikan membuat sebuah kue bolu coklat yang lezat.”
”Apa 9 unsur itu, Mu’az?”, Ferdi menyimak.
Mu’az lalu melanjutkan ceramahnya, ”9 unsur tersebut adalah;
1. Tepungnya itu, Tha'at (Iman dan Ibadah).
2. Menteganya, Tegar (Tahan Uji).
3. Gulanya, Tabah (Sabar dan Kuat).
4. Pengembangnya, Syukur (dalam keadaan Baik maupun Buruk).
5. Telurnya, Tulus (Jujur dan Ikhlas).
6. Vanilinya, Setia (Tetap Pendirian).
7. Bubuk susunya, Khusnudhan (Baik Sangka).
8. Bubuk coklatnya, Rendah Hati (Tawadu’).
9. Dan Kematangannya, Kasih dan Sayang (Silahturahmi dan Sosialisasi).
Jadilah sebuah kue bolu coklat lezat yang dinamakan SHABAR”.
”Lalu mengapa kamu memilih Christine anak ku untuk menjadi calon istrimu?”, tanya Ferdi menyelidik.
”Saya memilih dia untuk mendampingi hidup saya, karena dia telah jatuh cinta kepada Islam. Dan mungkin Om belum tahu, kalau Christine kini telah ’Mualaf’. Sebenarnya, bukan hak saya yang harusnya memberitahukan hal ini kepada Om, Rencananya Christine sendiri yang akan memberitahukan hal ini kepada Om dan Tante”, jawab Mu’az tenang.
Mendengar penjelasan Mu’az, Ferdi merasa malu. Ia pun permisi untuk mengerjakan hal yang lain.
-*-
Shahabat,
Dari hikmah kisah diatas, q mengajak shahabat untuk JATUH CINTA kepada Islam. Sebab bila ia telah merasakan cinta yang begitu kuat dan dalam, rasanya tidak mungkin mengorbankan apa yang dicintainya tersebut.
Selain itu, Nasrani atau Katolik, boleh saja memiliki ’Kasih’, tetapi hanya sebatas hubungan antara Tuhan dan manusia.
Sebagaimana tertulis dalam Alkitab Nasrani,
"Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri...”
(Injil Matius 22: 37-40)
Sedangkan hubungan didalam Islam tidaklah terbatas, ia bersifat universal. Oleh karenanya maka Islam dikatakan agama yang RAHMATAN LIL 'AALAMIIN, yang artinya ’Kasih Allah meliputi seluruh Jagat Raya’.
Sebagaimana firman Allah didalam Al-Qur’anul Karim,
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
(Al Anbiya’ [21]: 107)
WALLAAHU TA’AALAA A’LAM BISH SHAWAAB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar