Segera ia menunaikan shalat berjamaah dengan si empunya rumah sebagai imam shalatnya.
Saat pembacaan surat, imam salah me-lafal-kan (mengucapkan) ayat, Hasan kemudian mundur membatalkan shalat berjamaah, lalu shalat sendiri. Dalam hatinya ia berkata,
“Tidak berpahala shalatku bila di-imam-i orang yang kurang fasih”.
Malamnya, Hasan bermimpi didatangi seorang Malaikat yang berkata,
”Salam ya abid abdurrahman (ahli ibadah hamba yang dikasihi Allah), aku membawa pesan dari Tuhan-mu. Dia berkata;
’Hasan, jika saja engkau tidak membatalkan shalat Maghrib berjamaah tadi, maka ridha-Ku turun atasmu. Karena pahala shalatmu tadi lebih besar dari shalat-shalat mu sebelumnya. Kau hanya mengukur pe-lafal-an ayatnya saja, tanpa melihat kemurnian dan ketulusan hati. Aku lebih menyukai hati yang tulus kala beribadah, daripada pengucapan yang sempurna’.”
-*-
Shahabat,
Kisah diatas membawa hikmah mendalam bagi qt, sebab hingga saat ini, penilaian lahiriah seseorang masih menjadi tolok ukur atau panutan.
Qt lebih menilai:
- Pakaian,
- Ucapan,
- Ilmu,
- Status,
- Dan Harta.
Qt lupa bahwa, Allah tidak memandang itu semua, Dia justru berkenan dengan kemurnian dan keikhlasan hati.
Lalu bagaimanakah dengan qt sendiri?
Sebuah nasehat dari guru q,
”Dalam beribadah tidak hanya PINTAR saja yang diperlukan, tetapi lebih utama CERDAS. Karena Pintar hanyalah mengandalkan otak, sedangkan Cerdas menggunakan hati dan otak”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar