Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabaarakatuhu wamaghfiraatuhu waridhwaanuh

Senin, 16 Desember 2013

NASEHATI DIRI

Shahabat,
Banyak orang sering memberi nasehat dan pandangan untuk satu tujuan yaitu ’agar dapat lebih baik’. Baik itu dalam perjalanan hidup sehari-hari, usaha, maupun ibadah. Tetapi sayangnya, banyak diatara para pemberi nasehat dan pandangan tersebut, justru menganggap perkara tersebut sepele. Sementara bagi yang lainnya, tidak lebih dari sekedar tuntutan profesi, seperti para pemimpin, guru maupun ulama. Miris rasanya melihat kenyataan seperti itu. Apakah tidak takut kelak diminta pertanggung-jawaban di akhirat, atas segala ucapan, cetusan dan pikiran?

Benarlah bila pepatah mengatakan, ”Seperti lidah tak bertulang.” Mudahnya berucap, sulit untuk diuji kebenarannya.
Atau seperti peribahasa yang berbunyi ”Semut diseberang laut jelas terlihat, Gajah dipelupuk mata tidaklah tampak.” Kekurangan orang lebih dipedulikan, namun kekurangannya sendiri diabaikan.
Demikian juga dengan ’falsafah telunjuk’, yang artinya ”Janganlah mudah menunjuk dengan telunjukmu (menegur/menyalahkan orang lain), sementara empat jari yang lain jelas-jelas menunjuk padamu.”

Padahal segala nasehat dan pandangan tersebut itu tidaklah bermanfaat bila hanya dalam bentuk ucapan saja alias ’teori’, tetapi seharusnya diterapkan langsung dalam segala sudut kehidupan qt.

Beberapa hari yang lalu seorang shahabat bertanya pada q, ”Umi, bagaimana meng-implementasi-kan kata ’muhasabah’ dengan cara yang sederhana.”
Q tersenyum mendengar pertanyaannya, sebab q sendiri sampai hari ini masih terus berusaha untuk menerapkan muhasabah itu dalam kehidupan q sendiri.
Karena bagi q penerapan ’berusaha untuk lebih baik’, itu berawal dari bagaimana q bisa menasehati diri sendiri melalui kesadaran dan niat. Sebab bila hati telah jujur dan niatnya tulus, niscaya dalam segala hal qt senantiasa akan mawas diri.

Jadi implementasi dari muhasabah adalah bagaimana qt bisa istiqamah menasehati diri sendiri untuk berlaku jujur.

Dibawah ini adalah beberapa pengalaman q yang betul-betul menguji kejujuran, sungguh memberikan hikmah luar biasa bagi q;
  1. Saat menerima pemberian atau pengembalian uang lebih dari yang seharusnya, sekalipun Rp. 100,-. Disini, ada rasa ingin memiliki uang haram tersebut.
  2. Ketika mendapatkan barang berharga (uang, hp, emas dan lainnya), yang jelas-jelas bukan milik q. Ujian kejujuran sungguh berat.
  3. Saat seseorang membutuhkan bantuan materi, sementara keberadaan q sendiri pas-pasan. Pada peristiwa ini, rasa iba kadang terkalahkan dengan rasa ego. Biasanya, qt berkata, ”Aduh maaf ya, lagi nggak punya nih.” Betapa sulit rasanya, untuk berkata ”Sebenarnya saya ada, tapi kalau saya berikan padamu, maka saya yang akan berkekurangan.”
  4. Ketika seseorang memerlukan bantuan kita, padahal saat itu qt sedang tidak siap atau enggan. Disini sering qt akhirnya berbohong, bahkan menjadi munafik, hanya untuk menjaga ’image’ (ja’im). 
Masya Allah.

Shahabat,
Seperti kata ulama, ”Bila engkau telah bisa mengaji, maka lanjutkanlah dengan mengkaji, setelah itu sajikanlah dalam perjalanan hidupmu didunia.”
Sehingga tidak heranlah bila Sayyidina Umar bin Khattab ra, mengaji dan mengkaji Surat Al-Baqarah selama 10 tahun. Selanjutnya, ia berhasil menyajikan kandungan Surat Al-Baqarah dalam hidupnya.

Dengan menasehati diri untuk senantiasa berlaku jujur dihati masing-masing, qt awali keinginan agar dapat lebih baik, dengan sebenar-benarnya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar