Seorang
wanita muda, sebutlah dia Astrid. Seorang aktivis gereja yang diberi Allah
hidayah menjadi Muallaf. Mulailah dia mengenal dan berusaha mencintai keyakinan
barunya.
Singkat
cerita, Astrid yang gemar bersosialisasi turut pula dalam pengajian rutin
mingguan di lingkungan RT dimana ia tinggal bersama suami dan anaknya. Saat
sesi tanya jawab, ia banyak bertanya pada Ustadz/Ustadzah yang memimpin
pengajian. Ia terlihat sangat kritis, maklumlah baru tiga tahun ia menjadi
muslimah.
Semangat
muhasabah Astrid ternyata terusik, saat dilihatnya beberapa ibu-ibu yang datang
mengaji, tidak sepenuhnya mendengarkan tausiah. Mereka dengan sengaja
memisahkan diri, didapur atau diluar ruangan pengajian, hanya untuk ghibah dan
bisnis.
Hatinya
tergugah untuk menyampaikan ketidak beresan tersebut.
Saat
diperjalanan hendak menuju ke sebuah rumah yang menjadi giliran pegajian rutin
mingguan, ia beriringan dengan seorang ibu yang membawa anak seusia anaknya.
"Ibu,
maaf saya mau bertanya, mengapa membawa anak ke pengajian?", tanya Astrid
pada ibu tersebut.
"Biar
ada yang menemani saya, bu. Tahu sendirikan bu, pengajian pasti lama dan
membosankan", kata ibu itu.
"Lho,
kalau membosankan, kenapa ibu mau menghadirinya?", tanya Astrid heran.
"Ya,
sekedar silahturahmi bu. Yang penting berkahnya kan. Biar pengajiannya
membosankan, kue atau beseknyakan mengenyangkan. Ya nda', bu?", jawab ibu
tadi sambil tertawa.
Hati
Astrid tercekat mendengar ucapan ibu tersebut.
"Jadi,
pengajian hanyalah ajang kumpul-kumpul dan makan-makan", sambat hatinya.
Ketika
pulang dari pengajian, Astrid beriringan lagi dengan ibu-ibu lainnya. Sambil
berjalan, terdengar percakapan ibu-ibu tersebut.
"Minggu
besok, ngaji dirumah siapa ya?", tanya ibu pertama.
"Kalau
tidak salah di rumah ibu Aisyah, bu", jawab ibu kedua.
"Ibu
mau datang?", tanya ibu pertama.
"Nda'
tahu ya bu, bagaimana nanti saja", jawab ibu kedua.
"Saya
juga belum tentu datang", kata ibu pertama.
"Kenapa
bu?", tanya Astrid.
"Ibu
Aisyah itu hidupnya pas-pasan. Pasti penganannya (makanan), ya seadanya",
kata ibu pertama.
Kembali
Astrid tertunduk sedih, hatinya menangis.
Lain
hari, Astrid mendengar ucapan seorang ibu lainnya,
"Ya
bagaimana lagi bu, pengajian bagi ku adalah ladang penghasilan aku, bu.
Dagangan pakaian muslim ku ini kebanyakan laku di tempat-tempat pengajian. Aku
nda' begitu memerlukan tausiyah, yang penting dagangan ku lancar", kata
ibu tersebut.
Astrid
lalu mencoba mendatangi pengajian di RT lain, lalu ke kampung lainnya. Hingga
ke daerah lainnya seperti Cianjur, Semarang dan Surabaya. Semuanya tidak jauh
berbeda. Di setiap pengajian pasti ada manusia-manusia tadi.
Sementara
ketika Astrid masih Nasrani, dimanapun ia mengikuti kebaktian rutin mingguan
dirumah-rumah, para pesertanya tidak ada yang memisahkan diri dari acara
kebaktian. Mereka menyatu dan diam, mendengarkan pendeta yang berkhutbah (soal
khidmat atau khusyu kembali pada diri masing-masing).
Sedangkan
masalah ghibah atau bisnis, baru dilakukan setelah selesai kebaktian, tepatnya
saat ramah-tamah.
Sahabat,
Astrid adalah segelintir dari insan yang sungguh peduli pada pengajian. Akankah
qt biarkan semangat muhasabahnya pudar, hanya karena sikap 'salah kaprah'
mereka yang memandang pengajian itu hanyalah ajang kumpul-kumpul, makan-makan
dan bisnis?
ASTAGHFIRULLAAHAL
ADHIIM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar