Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabaarakatuhu wamaghfiraatuhu waridhwaanuh

Kamis, 13 Oktober 2011

NASEHATI DIRI

Sahabat, banyak orang sering memberi nasehat dan pandangan untuk satu tujuan yaitu ’agar dapat lebih baik’.
Baik itu dalam perjalanan hidup sehari-hari, usaha, maupun ibadah. Tetapi sayangnya, banyak diantara para pemberi nasehat dan pandangan tersebut, justru menganggap perkara tersebut sepele. Sementara bagi yang lainnya, tidak lebih dari sekedar tuntutan profesi, seperti para pemimpin, guru maupun ulama. Miris rasanya melihat kenyataan seperti itu. Apakah tidak takut kelak diminta pertanggung-jawaban di akhirat, atas segala ucapan, cetusan dan pikiran?

Benarlah bila pepatah mengatakan, ”Seperti lidah tak bertulang.” Mudahnya berucap, sulit untuk diuji kebenarannya.
Atau seperti peribahasa yang berbunyi ”Semut diseberang laut jelas terlihat, Gajah dipelupuk mata tidaklah tampak.” Kekurangan orang lebih dipedulikan, namun kekurangannya sendiri diabaikan.
Demikian juga dengan ’falsafah telunjuk’, yang artinya ”Janganlah mudah menunjuk dengan telunjukmu (menegur/menyalahkan orang lain), sementara empat jari yang lain jelas-jelas menunjuk padamu.”

Padahal segala nasehat dan pandangan tersebut itu tidaklah bermanfaat bila hanya dalam bentuk ucapan saja alias ’teori’, tetapi seharusnya diterapkan langsung dalam segala sudut kehidupan kita.

Beberapa hari yang lalu seorang sahabat bertanya padaku, ”Umi, bagaimana meng-implementasi-kan kata ’muhasabah’ dengan cara yang sederhana.” Aku tersenyum mendengar pertanyaannya, sebab aku sendiri sampai hari ini masih terus berusaha untuk menerapkan muhasabah itu dalam kehidupanku sendiri.
Karena bagiku penerapan ’berusaha untuk lebih baik’, itu berawal dari bagaimana aku bisa menasehati diri sendiri melalui kesadaran dan niat. Sebab bila hati telah jujur dan niatnya tulus, niscaya dalam segala hal kita mampu untuk mawas diri.

Jadi implementasi dari muhasabah adalah bagaimana kita bisa istiqomah menasehati hati ini untuk terus berlaku jujur. Dibawah ini adalah beberapa pengalamanku yang betul-betul menguji kejujuran, sungguh memberikan hikmah luar biasa bagiku;
1. Ketika menerima pemberian atau pengembalian uang lebih dari yang seharusnya. Disini, ada rasa ingin memiliki uang haram tersebut.
2. Ketika di rekening-ku ada uang kaget (kesalahan Bank). Ini lebih berat lagi, dihati ada yang berkata, ”Inikan bukan salahku.” Tetapi inilah ujian kejujuran.
3. Ketika seseorang membutuhkan bantuan materi, sementara keberadaan ku sendiri pas-pasan. Pada peristiwa ini, rasa iba kadang terkalahkan dengan rasa ego. Biasanya, kita berkata, ”Aduh maaf ya, lagi nggak punya nih.” Betapa sulit rasanya, untuk berkata ”Sebenarnya saya ada, tapi kalau saya berikan padamu, maka saya yang akan berkekurangan.”
4. Ketika seseorang memerlukan kita atau bantuan kita, pada saat kita sedang tidak siap atau enggan. Disini sering kita akhirnya berbohong, bahkan menjadi munafik, hanya untuk menjaga ’image’ (ja’im). Masya Allah.

Sahabat, seperti kata ulama, ”Bila kita telah bisa mengaji, maka lanjutkanlah dengan mengkaji, setelah itu sajikanlah dalam perjalanan hidupmu didunia.”
Sehingga tidak heranlah bila Sayyidina Umar bin Khattab ra, mengaji dan mengkaji Surat Al-Baqarah selama 10 tahun. Selanjutnya beliau berhasil menyajikan kandungan Surat Al-Baqarah dalam hidupnya.

Marilah sahabat, dengan menasehati diri untuk senantiasa berlaku jujur di hati masing-masing, kita awali keinginan agar dapat lebih baik, dengan sebenar-benarnya.


Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. (Al-Baqarah [2]: 284)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar