Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabaarakatuhu wamaghfiraatuhu waridhwaanuh

Senin, 22 April 2013

DARI GELAP MENUJU CAHAYA

Sahabat,
Siapa tidak mengenal seorang wanita priyayi asal Jawa, bernama Raden Ajeng Kartini. Seorang tokoh emansipasi wanita dan pahlawan pendidikan Indonesia, yang lahir pada tanggal 21 April 1879.

Kartini lahir di Jepara, Jawa Tengah. Ayahnya adalah seorang bupati di Jepara, bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Sedangkan ibunya bernama MA. Ngasirah. Silsilahnya sampai kepada Hamengkubuwono VI.

Hingga usianya 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sinilah juga awal Kartini mengenal bahasa Belanda. Namun sayang saat usianya melewati 12 tahun, ia tidak boleh lagi meneruskan pendidikan, ia dipingit dan harus tinggal di rumah, sebagaimana juga terjadi pada rekan-rekan sebayanya yang sesuku saat itu.

Walau demikian, semangat keingintahuannya tidak membuat Kartini merasa terkungkung oleh dinding-dinding bisu yang mengelilinginya. Ayahnya yang termasuk pegawai tinggi Belanda, sering mendapat kiriman buku dan majalah dari pemerintah Kolonial. Dari buku dan majalah tersebutlah Kartini mengetahui perkembangan dunia.

Saat usianya menanjak remaja, Kartini mulai berkirim surat. Salah seorang sahabat pena-nya adalah Rosa Abendanon, seorang wanita Belanda. Jarak antara Jepara dan Nederland, bukanlah halangan bagi keduanya. Melalui surat kepada sahabatnya ini, Kartini mengungkapkan segala isi hatinya, pemikiran dan keingintahuannya.
Tidak hanya kepada wanita Belanda ini saja Kartini bersurat, ia juga berteman dengan beberapa wanita Eropa lainnya melalui surat-menyurat.

Dari korespondensi inilah membuka mata hati Kartini, tentang keberadaan wanita yang sesungguhnya. Ia sangat mengagumi wanita Eropa yang mandiri dan berdedikasi.
Hal inilah yang kemudian menjadi motivator baginya untuk membuka sekolah wanita sederhana, dirumahnya yang didukung oleh saudara-saudara wanitanya.

KARTINI PENCETUS TARJAMAH AL-QUR’AN BAHASA JAWA
Suatu ketika, Kartini menghadiri suatu pengajian di rumah Bupati Demak, Pangeran Ario Hadiningrat yang tidak lain adalah pamannya. Pengajian yang dibawakan oleh Kyai Haji Mohammad Sholeh bin Umar (Kyai Sholeh Darat), adalah tentang Tafsir Surat Al-Fatihah.

Kartini tertarik sekali dengan materi yang disampaikan, maklumlah karena sebelumnya ia hanya membaca dan menghafal Al-Qur’an tanpa mengetahui maknanya. Setelah pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemui Kyai Sholeh Darat, secara pribadi.

“Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?”, tanya Kartini.
Tertegun Kyai Sholeh Darat mendengar pertanyaan Kartini yang diajukan secara diplomatis itu.
“Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?”, Kyai Sholeh Darat balik
Bertanya.
“Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku mengerti makna Surat Al-Fatihah, surat pertama dan induknya Al-Qur’an, yang isinya begitu indah dan menggetarkan sanubariku. Betapa syukur rasa hati aku kepada Allah SWT. Namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran ke dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Qur’an itu pemimpin hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”, jelas Kartini penuh semangat.

Setelah pertemuan yang begitu berkesan dengan Kartini, Kyai Sholeh Darat tergugah hatinya. Beliau kemudian mulai menuliskan Tarjamah Al-Qur’an Bahasa Jawa.
(Ditulis oleh Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat)

MENIKAH
Pada tanggal 12 November 1903, Kartini dipaksa menikah oleh orangtuanya dengan Bupati Rembang, KRM. Adipati Ario Singgih Joyo Adiningrat, yang sudah memiliki tiga istri.

Saat itulah, Kyai Sholeh Darat menghadiahkan kepada Kartini, Tarjamah Al-Qur’an Bahasa Jawa (Faizhur Rahman fit-Tafsiril Qur’an), jilid pertama yang terdiri dari 13 juz, mulai dari
Surat Al-Fatihah sampai dengan Surat Ibrahim.

Setelah menikah, Kartini diberi kebebasan oleh suaminya untuk mengembangkan sekolah wanitanya. Tempat yang lebih layakpun didirikan untuknya, yaitu di sebelah timur pintu gerbang Kompleks Kantor Kabupaten Rembang, (kini Gedung Pramuka).

HABIS GELAP TERBITLAH TERANG
Berbekal Tarjamah pemberian Kyai Sholeh Darat, Kartini mulai mendalami arti Al-Qur’an. Sayangnya tidak lama berselang, Kyai Sholeh Darat meninggal dunia, sehingga Al-Qur’an tersebut belum sempat selesai diterjemahkan seluruhnya ke dalam bahasa Jawa.

Saat Kartini membaca Surat Al Baqarah (2): 257, yang berbunyi;
"Orang-orang yang beriman dibimbing Allah DARI GELAP MENUJU CAHAYA".
Hatinya sungguh terkesan dengan ayat tersebut, karena ia merasakan bahwa arti ayat tersebut sedang berproses dalam dirinya. Dari seorang wanita Jawa yang terkungkung, mulai berproses menuju wanita Indonesia yang cerdas dan berdikari.

Di dalam banyak suratnya, Kartini sering mengulang kata-kata dalam ayat diatas, "Dari Gelap Menuju Cahaya", yang ditulis dalam bahasa Belanda sebagai "Door Duisternis Toot Licht ".

MELAHIRKAN DAN WAFAT
Pada tanggal 13 September 1904, Kartini melahirkan seorang bayi lelaki, yang diberi nama Soesalit Joyoadiningrat. Karena kondisinya yang sangat lemah setelah persalinan, empat hari kemudian, tepatnya pada tangga 17 September 1904, ia akhirnya menghebuskan nafas terakhir dalam usia 25 tahun.

Raden Ajeng Kartini berpulang saat jiwa emansipasinya belum lagi selesai ditunaikannya. Jenazahnya dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

SURAT-SURAT KARTINI
Adalah seorang Belanda bernama Jacques Henrij Abendanon, yang tidak lain adalah suami sahabat pena Kartini, Rosa Abendanon. Ia-lah pemrakarsa awal dalam pengumpulan lembaran-lembaran surat Kartini yang lalu dijadikannya sebuah buku. Saat ia menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan, Hindia Belanda (1900-1905). Buku ini perdana diterbitkan pada tahun 1911.

Kemudia pada tahun 1922, Balai Pustaka, menerbitkannya kembali dalam bahasa Melayu dengan judul ”Habis Gelap Terbitlah Terang”. Sedangkan pada tahun 1938, Armijn Pane, seorang sastrawan aliran Pujangga Baru, menyusunnya kembali dalam Bahasa Indonesia dan menerbitkannya dengan judul yang sama.

SEKOLAH KARTINI
Pasca wafatnya Kartini, sekolah wanita yang didirikannya, sempat terbengkalai.
Baru pada tahun 1912, sebuah yayasan yang didirikan oleh keluarga Van Deventer, yang diberi nama Yayasan Kartini, menghidupkan kembali sekolah untuk kaum wanita di Semarang, dengan nama "Sekolah Kartini". Sekolah ini kemudian berkembang pesat, dan melebarkan sayapnya ke Cirebon, Yogyakarta, Malang, Madiun hingga ke Surabaya.

Disadur dan di edit dari berbagai sumber.

”Betapapun jalan-jalan yang kita lalui berbeda, tetapi kesemuanya menuju kepada satu tujuan yang sama, yaitu Kebaikan.
Kita juga mengabdi kepada Kebaikan, yang tuan sebut Tuhan, dan kami sendiri menyebutnya Allah.”
(Surat kepada Dr. N. Adriani, 24 September 1902)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar