Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabaarakatuhu wamaghfiraatuhu waridhwaanuh

Selasa, 22 November 2011

SEBUAH PENYESALAN

Sebenarnya pasutri ini barulah 12 tahun menjalani kehidupan berumah-tangga, namun karena kurangnya komunikasi dan bumbu penyedap dalam berumah-tangga, maka peristiwa memilukan ini haruslah terjadi.

Joko dan Astuti menikah setelah berpacaran lebih dari lima tahun. Ketika menikah usia Joko sudah 30 tahun, sedangkan Astuti 25 tahun. Tidak sampai setahun dari pernikahan tersebut, Astuti telah memberikan Joko dua anak kembar berjenis kelamin laki-laki. Lengkap sudah sebenarnya kehidupan yang Joko miliki; ia diberi istri yang ayu, anak-anak yang sehat, rumah walau sederhana dan pekerjaan tetap sebagai kepala gudang sebuah pabrik garment di kotanya.

Namun, kelengkapan ini ternyata tidak menjamin pasutri ini hidup bahagia. Joko dan Astuti, memiliki sifat yang sama, kedua-duanya pendiam. Sehingga komunikasi diantara mereka sangatlah terbatas. Apalagi Joko berangkat kerja, ketika hari masih gelap, dan tiba kembali dirumah ketika hari kembali gelap. Praktislah semakin sedikit waktu untuk keluarga.

Sedangkan Astuti, walau hanya sebagai ibu rumah tangga, pekerjaannya pun sungguh melelahkan. Sejak subuh hingga maghrib, ada saja yang ia kerjakan; dari menyiapkan sarapan dan pakaian suami, mengurus anak, mencuci, memasak, menyetrika pakaian, hingga merapihkan rumah dan seisinya. Sehingga ketika Joko pulang, Astuti jarang menyambut dan menemaninya, lebih sering Joko menemukan istrinya telah tertidur pulas.

Sampai suatu waktu Astuti mengeluh, ”Mas, kenapa ya awak-ku ini podo nyeri kabeh?”
”Makanya jangan kerja terlalu berat”, timpal Joko sambil menyeruput kopinya.
Lalu Jokopun pamit berangkat kerja.

Beberapa hari berlalu, Astuti kembali mengeluh, ”Mas, sekarang kepala-ku sakit banget rasanya kayak mau pecah.”
”Ya sudah, minum obat warung sana”, kata Joko sembari pamit kerja.
”Tapi aku ndak punya uang lagi mas, untuk beli obat”, kata Astuti dengan muka memelas.
”Bagaimana begitu cepat habis, aku ini bukan pohon duit bu”, balas Joko kesal dan langsung berlalu.

Sakit yang diderita Astuti, tidak kunjung baik. Namun ia tidak berani mengeluh lagi, takut malah dimarahi suaminya, seperti waktu yang lalu.

Hingga suatu malam, Joko ingin bermesraan, namun Astuti menolak, katanya ”Maaf mas, badan-ku rasanya sakit semua, ndak sanggup rasanya untuk melayani mu, mas.”
”Aku bisa stress kalau terus seperti ini”, gerutu Joko lalu keluar kamar.

Melihat suaminya kesal, Astuti lalu menghampiri dan berkata, ”Betul mas, badan-ku belakangan ini rasanya ndak beres, panas dingin, ndak karuan.” Joko hanya diam dan tak berkomentar. Hatinya masih kesal.
Lalu dengan sedikit keberanian Astuti mendekati suaminya dan meminta, ”Mas, besok kita ke rumah sakit ya, biar tahu sakit apa aku ini.”
”Ah, aku ndak bisa, besok aku kerja, hari lain saja”, kata Joko sembari balik ke kamar dan tidur.

Hari-haripun berlalu Astuti semakin lemah, namun ia tetap mengerjakan tugasnya sebagai ibu rumah-tangga. Rasa sakit yang semakin menggerogoti badannya, tidak lagi ia hiraukan. Dengan sesanggupnya ia berusaha untuk tabah menerima ujian Allah SWT ini.

Dimalam hari, Astuti bangun untuk shalat malam dan mengadukan segala keperihan hati dan sakitnya kepada Allah. Dalam doanya, ia meminta kekuatan agar mampu menjalani kehidupan selanjutnya. Ia juga mendoakan suami dan anak-anaknya, agar mereka selalu sehat dan berprestasi di masing-masing tugasnya. Di akhir doanya, Astuti memohon ampun atas segala salah dan dosa yang telah ia perbuat, dan ia menyerahkan hidupnya hanya kepada Allah.

Sampailah disuatu waktu, Astuti betul-betul merasa tidak sanggup lagi, ia memohon kepada suaminya, ”Mas, boleh ndak aku minta izin untuk beristirahat hari ini. Aku ingin tidur. Ajaklah anak-anak kerumah orangtuamu, ya.”
”Memangnya sampean saja yang cape, aku juga cape, aku ini kerja, cari uang, jadi akulah yang lebih berhak untuk istirahat. Sedangkan sampeankan, hanya dirumah, Cuma ngurus anak dan rumah”, timpal Joko menyepelekan.

Esok harinya, dengan berlinang air mata, Astuti memohon lagi, ”Mas, tolong aku sekali ini saja. Sesudah ini aku ndak meminta lagi. Tolong bawa anak-anak ke orangtuamu, aku betul-betul ingin istirahat. Hari ini saja.”

Melihat tangisan Astuti yang memilukan hati, lunak juga hati Joko. Disanggupinya permintaan istrinya itu. Tak berapa lama kemudian Joko telah bersiap mengantarkan anak-anaknya kerumah orangtuanya.
”Baiklah, aku akan mengantar anak-anak kerumah bapak dan ibu, sore mungkin baru pulang”, kata Joko sembari pamit.

Sore haripun tiba, Joko dan anak-anak telah tiba dirumah. Dipanggilnya istrinya berulang kali, Namun tidak ada jawaban dari dalam rumah. Dengan menggerutu, Joko akhirnya, meloncat dari jendela samping yang berada di kamar tidurnya.
Dilihatnya Astuti masih saja tidur, dengan kesal Joko membangunkan istrinya itu, “Bu… ibu…”
Tetapi yang dipanggil tidak juga bangun. Sadarlah Joko, istrinya telah wafat. Seketika itu meledaklah tangis anak beranak itu, menyesali kepergian istri dan ibu yang begitu mendadak.

Sambil berlinang air mata Joko menyadari segala sikap tidak pedulinya atas penyakit istrinya selama ini. Kini ia seorang diri yang harus membesarkan kedua anaknya yang masih kanak-kanak itu.
”Ya Allah, sungguh hamba seorang suami yang tidak becus, hamba telah menyia-nyiakan istri yang begitu setia, tabah dan penurut yang Engkau berikan. Ampuni hamba, ya Allah. Berikan kekuatan kepada hamba, untuk membesarkan putra-putra hamba yang masih kecil-kecil ini. Amin, ya Allah ya Rabbal alamin.”

Dan ketika jenazah Astuti diturunkan kedalam liang lahat, Joko berkata lirih dibalik kesedihannya, “Istriku sayang, mas minta maaf ya. Sampean yang terbaik untukku, Astuti sayang.”


Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah 
dan hendaklah setiap diri memperhatikan 
apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); 
dan bertakwalah kepada Allah, 
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui 
apa yang kamu kerjakan.
(Al-Hasyr: 18)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar