Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabaarakatuhu wamaghfiraatuhu waridhwaanuh

Sabtu, 23 Maret 2013

UJIAN KESABARAN

Sore itu, Minggu, 27 Januari 2013. Mustamin yang sudah sepuh, duduk santai bersama putra semata wayangnya, Ma’ruf yang baru meraih gelar S1. Mereka bercakap-cakap ringan sambil bercengkrama dengan alam, disebuah taman, dekat rumah.

Sejenak kemudian, hinggaplah seekor burung kutilang, di sebuah pohon peneduh ditaman tersebut. Burung itu lalu berkicau dengan merdunya.
Mustamin spontan bertanya pada Ma’ruf, "Ngger, manuk opo kui, suarane merdu tenan”.
Ma’ruf, ”Kutilang, pak”.
Mustamin yang sudah kurang pendengarannya karena usia, bertanya lagi, ”Manuk opo?”.
”Ku-ti-lang, pak...”, Ma’ruf mengulang lagi.
Mustamin terdiam sejenak, lalu ia bertanya lagi, ”Ngger, manuk opo toh kui?”.
”KUTILANG, pak”, Ma’ruf kembali mengulangi lagi dengan nada yang mulai kesal.
”Aduh, bapak ini sudah kurang pendengarannya, tolong di ulang lagi nak, burung apa yang berkicau merdu itu?”, Mustamin bertanya lagi.
”KU-TI-LANG... KUTILANG, BAPAK!”, jawab Ma’ruf seraya mengeraskan suaranya dan didekatkan mulutnya ke telinga Mustamin.
”Kutilang, ngger?”, tanya Mustamin memastikan pendengarannya.
”IYAAA, KUTILAAANG, BAPAK!!!, dari tadi juga sudah dibilang Kutilang, Kutilang, makanya obatin kuping bapak... Bikin orang jadi emosi”, sungut Ma’ruf kesal dan bangun meninggalkan ayahnya yang tengah termanggu-manggu, memikirkan ucapan anaknya barusan.

Malam harinya, Ma’ruf menghampiri Mustamin, untuk meminta maaf, atas sikapnya tadi sore ditaman.
Penuh bijak dan sayang Mustamin memgusap kepala putranya itu. Sejenak kemudian Mustamin mengambil sebuah buku catatan harian tua, lalu menunjukkan sebuah tulisan kepada Ma’ruf.

”Hari ini, Sabtu, 27 januari 1996, anak ku Ma’ruf saat itu baru berusia 7 tahun. Ia bertanya kepada ku tentang nama seekor burung, yang hinggap di sebuah pohon ditaman dekat rumahku. Dengan penuh kasih sayang aku menjawab pertanyaan anakku, ’Kutilang, ngger’.
Namun Ma’ruf, terus menanyakan lagi nama burung tersebut, dan aku dengan sabar, terus menjawab, ’Kutilang, cah bagus’.
Ku hitung ada 25 kali Ma’ruf mengulangi pertanyaan yang sama.
Dan selama itu aku tetap menjawab penuh kesabaran, ’Kutilang, kutilang, kutilang... Ma’ruf anakku’.”

Selesai Ma’ruf membaca tulisan ayahnya, Mustamin lalu berkata, ”Hari ini aku bertanya tentang nama burung yang sama kepadamu, baru lima kali, dan sampeyan sudah marah pada bapakmu ini”.
Seketika itu pula tumpahlah air mata penyesalan Ma’ruf, dengan suara lirih ia berkata, ”Maafkan aku bapak”.

”... hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
(Al-Israa’ [17]: 23)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar