Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabaarakatuhu wamaghfiraatuhu waridhwaanuh

Selasa, 18 Februari 2014

JURUKUNCI YANG TAWADHU’

“Pa’, ’kuncen’ (juru kunci) disini?”, tanya seorang lelaki setengah baya, pimpinan rombongan dari sebuah pesantren kepada saya.
”Maaf, bukan saya Pa’, tapi bapak itu”, kata saya sambil menunjuk kepada seorang bapak sepuh yang duduk disebelah saya.
Lelaki itu mengernyitkan dahinya, seperti tidak yakin.

Bagaimana bisa meyakinkan peziarah, bapak sepuh, yang kami panggil Abah Musthofa ini, berpenampilan tidak seperti seorang kuncen. Dengan kaos bergaris, celana panjang hitam dan kopiah, Abah yang sederhana ini, memang tidak mau menunjukkan dirinya sebagai seorang kuncen.

”Pa’ Musthofa, kenapa nda’ mau menunjukkan ke-kuncen-an bapak?”, tanya saya penasaran.
”Abdi ini, tos cukup janteun ngarawatan tanah makam iyeu’ (saya ini, sudah cukup untuk merawat tanah makam ini). Wios, nu ngelakon wae mimpinkeun du’a/tahlil (biar yang tirakat saja yang memimpin du’a/tahlil). Hitung-hitung buat nambahin uang makan mereka”, jelas Pa’ Musthofa dengan tersenyum.

Subhanallah, sungguh ’leghowo’ sekali Pa’ Musthofa ini. Tanah warisan yang dimilikinya ini memiliki luas hampir 2 ha., ia wakafkan untuk keperluan para peziarah dan warga umum. Di tanah tersebut terdapat makam 3 Waliyullah yang masyur di tanah Banten, mereka itu bernama; Syekh Dayah, Syekh Sholih dan Syekh Royani.
Pa’ Musthofa sendiri kini berusia 68 tahun, ia adalah turunan ke 5 dari Syekh Royani.

”Kalau lampu putus, lantai kotor, sampah, MCK bau; itu urusan abdi. Pokoknya kebersihan dan kenyamanan lokasi Makam Waliyullah disini, sepenuhnya tanggungjawab abdi. Sementara untuk tahlilan dan du’a, biarlah yang lain saja”, tutup Pa’ Musthofa sambil menyeruput kopi kegemarannya.
-*-

Shahabat,
Sementara para juru kunci di makam-makam keramat lainnya, berlomba-lomba untuk mengais rizqi dengan memanfaatkan momen memimpin du’a/tahlil, bapak yang satu ini, justru menutupi jati diri sebenarnya.
Melalui kesederhanaannya, ia mengabdikan dirinya untuk masyarakat dan para leluhurnya, tanpa perlu mencari keuntungan pribadi.

Kisah diatas dituturkan Hafidz kepada q dengan penuh kagum.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar