Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabaarakatuhu wamaghfiraatuhu waridhwaanuh

Minggu, 27 Januari 2013

KELUARGA YANG SYUHADA

Saat masa perjuangan Nabi Musa as. menyebarkan agama Tauhid (Islam) ditanah Mesir, terdapatlah sebuah keluarga muda yang begitu taat dan cinta kepada Allah SWT. Hazaqil dan Siti Masyithah, demikianlah nama pasutri yang sangat taqwa ini. Mereka dikaruniai tiga orang anak yang masih balita.

Pasutri ini bekerja dilingkungan istana Fir’aun, Hazaqil sebagai seorang penasehat Firaun, sedangkan Siti Masyithah sebagai pengasuh putri Firaun.
Suatu hari terjadi perdebatan hebat antara Fir’aun dengan Hazaqil, tentang penjatuhan hukuman mati atas para ahli sihir yang beriman kepada Allah. Saat itu, Hazaqil yang selama ini menjadi tangan kanan Firaun, justru yang paling menentang keras pelaksanaan hukuman mati tersebut. 
Melihat sikap menentang Hazaqil, Fir’aun menjadi marah. Yakinlah raja Mesir itu, bahwa Hazaqil ternyata selama ini hanya berpura-pura menganggap dirinya Tuhan. Ia lalu menjatuhkan hukuman mati kepada Hazaqil. Tanpa perlawanan, Hazaqil menerimanya dengan tegar dan tabah. Hamba shalih ini wafat, dengan kedua tangan terikat pada pohon kurma dan tembusan beberapa anak panah.

Sungguh betapa sedih hati Siti Masyithah ditinggal wafat suami yang sangat dicintainya. Rasa itu diceritakannya kepada Asiah, istri Firaun, yang juga beriman pada Allah. Tanpa dinyana, Asiah juga menceritakan keadaan dirinya yang sering mendapat penyiksaan dari suaminya.

Sampai pada suatu saat, ketika Siti Masyithah sedang menyisir rambut salah seorang putri Fir’aun. Tiba-tiba sisir tersebut terjatuh dan ketika ia akan memungut sisir itu, spontan ia berucap, “Dengan nama Allah…”.
“Hai, dengan nama bapakku?”, kata putri Firaun.
“Bukan, Allah adalah Tuhanku dan Tuhanmu begitu juga Tuhan bapakmu”, sanggah Siti Masyithah.
”Akan aku laporkan pada ayahku”, ancam putri Firaun.
”Silahkan!”, tantang Siti Masyithah tegar.
Siti Masyithah lalu dipanggil oleh Fir’aun dan ditanya,, “Hai Masyithah, apakah kamu mempunyai tuhan selain aku?”
“Ya, Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah”, jawab Siti Masyithah mantap.
Dapatlah diterka, Fir’aun menjadi amat marah. Ia lalu memerintahkan pengawalnya untuk menyiapkan wajan tembaga raksasa lengkap dengan perapian dan minyak gorengnya yang mendidih. Lalu dipanggillah seluruh penduduk negeri, untuk menyaksikan hukuman sadis tersebut. 

Sekali lagi Firaun memberi kesempatan untuk Siti Masyithah, namun wanita shalihah ini malah mengajukan satu permintaan kepada Firaun, “Ya Firaun, aku ingin engkau mengumpulkan tulang-tulangku dan tulang-tulang anakku dalam satu kantung lalu tolong dikuburkan.”
“Akan aku penuhi permintaanmu”, jawab Firaun.
Kemudian dengan penuh kepastian dan keyakinan, Siti Masyithah bersama kedua anaknya, melangkah menuju wajan raksasa tersebut. 
Satu demi satu anaknya dilemparkan ke dalam wajan tembaga raksasa tersebut oleh para algojo Firaun. 
Saat tinggal dirinya beserta anaknya yang masih bayi, Siti Masyithah terlihat termangu sejenak. Dipandangi anaknya yang sedang menyusu dalam pelukannya. Tiba-tiba atas izin Allah, bayinya berkata, “Terjunlah Ibu! Ayo terjunlah, adzab dunia lebih ringan daripada adzab Akhirat.” 
Mendengar anaknya berbicara demikian, Siti Masyithah langsung terjun bersama bayinya, dengan menyebut asma Allah dihatinya.

Ketiga anak beranak itu mati tergoreng, tanpa mengeluarkan jeritan sedikitpun. Saat itu pula terciumlah wangi yang sungguh harum semerbak keluar dari wajan tadi.
Sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., Rasulullah saw. bersabda, 
”Pada saat malam terjadinya Isra’, aku mencium wangi yang sangat harum, akupun bertanya, ’Ya Jibril, wangi harum apakah ini?’.
’Ini adalah wangi wanita penyisir rambut putri Fir’aun (Siti Masyithah) dan anak-anaknya’, jawab Jibril.
Lalu aku bertanya, ’Bagaimana bisa demikian?’
’Saat wanita penyisir itu sedang menyisir rambut putri Fir’aun, tiba-tiba sisirnya terjatuh. Dia mengambilnya dengan membaca ‘Bismillah’, jawab Jibril.”
Untuk selanjutnya Jibril berkisah seperti diatas.
Kisah ini tercantum dalam Musnad Imam Ahmad, 4/291-295 dan Majma’uz Zawa’id, 1/65. Anisul Jalabi II, Ali Al-Hazza’. 

Sahabat, kisah ini menyadarkan q, walau usia kedua pasutri ini terbilang cukup muda dengan anak-anaknya yang masih balita, tetapi kecintaan mereka kepada Allah SWT, sungguh-sungguh sempurna.

Pertanyaannya, bisakah qt meneladani jihad keluarga ini?




Tidak ada komentar:

Posting Komentar