Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabaarakatuhu wamaghfiraatuhu waridhwaanuh

Sabtu, 12 Januari 2013

PENGAJIAN MINGGUAN

Seorang wanita muda, sebutlah dia Astrid. Seorang aktivis gereja yang diberi Allah hidayah menjadi Muallaf. Mulailah dia mengenal dan berusaha mencintai keyakinan barunya.

Singkat cerita, Astrid yang gemar bersosialisasi turut pula dalam pengajian rutin mingguan di lingkungan RT dimana ia tinggal bersama suami dan anaknya. Saat sesi tanya jawab, ia banyak bertanya pada Ustadz/Ustadzah yang memimpin pengajian. Ia terlihat sangat kritis, maklumlah baru tiga tahun ia menjadi muslimah.
 
Semangat muhasabah Astrid ternyata terusik, saat dilihatnya beberapa ibu-ibu yang datang mengaji, tidak sepenuhnya mendengarkan tausiah. Mereka dengan sengaja memisahkan diri, didapur atau diluar ruangan pengajian, hanya untuk ghibah dan bisnis.

Hatinya tergugah untuk menyampaikan ketidak beresan tersebut.
Saat diperjalanan hendak menuju ke sebuah rumah yang menjadi giliran pegajian rutin mingguan, ia beriringan dengan seorang ibu yang membawa anak seusia anaknya.
"Ibu, maaf saya mau bertanya, mengapa membawa anak ke pengajian?", tanya Astrid pada ibu tersebut.
"Biar ada yang menemani saya, bu. Tahu sendirikan bu, pengajian pasti lama dan membosankan", kata ibu itu.
"Lho, kalau membosankan, kenapa ibu mau menghadirinya?", tanya Astrid heran.
"Ya, sekedar silahturahmi bu. Yang penting berkahnya kan. Biar pengajiannya membosankan, kue atau beseknyakan mengenyangkan. Ya nda', bu?", jawab ibu tadi sambil tertawa.
Hati Astrid tercekat mendengar ucapan ibu tersebut.
"Jadi, pengajian hanyalah ajang kumpul-kumpul dan makan-makan", sambat hatinya.

Ketika pulang dari pengajian, Astrid beriringan lagi dengan ibu-ibu lainnya. Sambil berjalan, terdengar percakapan ibu-ibu tersebut.
"Minggu besok, ngaji dirumah siapa ya?", tanya ibu pertama.
"Kalau tidak salah di rumah ibu Aisyah, bu", jawab ibu kedua.
"Ibu mau datang?", tanya ibu pertama.
"Nda' tahu ya bu, bagaimana nanti saja", jawab ibu kedua.
"Saya juga belum tentu datang", kata ibu pertama.
"Kenapa bu?", tanya Astrid.
"Ibu Aisyah itu hidupnya pas-pasan. Pasti penganannya (makanan), ya seadanya", kata ibu pertama.
Kembali Astrid tertunduk sedih, hatinya menangis.

Lain hari, Astrid mendengar ucapan seorang ibu lainnya,
"Ya bagaimana lagi bu, pengajian bagi ku adalah ladang penghasilan aku, bu. Dagangan pakaian muslim ku ini kebanyakan laku di tempat-tempat pengajian. Aku nda' begitu memerlukan tausiyah, yang penting dagangan ku lancar", kata ibu tersebut.

Astrid lalu mencoba mendatangi pengajian di RT lain, lalu ke kampung lainnya. Hingga ke daerah lainnya seperti Cianjur, Semarang dan Surabaya. Semuanya tidak jauh berbeda. Di setiap pengajian pasti ada manusia-manusia tadi.

Sementara ketika Astrid masih Nasrani, dimanapun ia mengikuti kebaktian rutin mingguan dirumah-rumah, para pesertanya tidak ada yang memisahkan diri dari acara kebaktian. Mereka menyatu dan diam, mendengarkan pendeta yang berkhutbah (soal khidmat atau khusyu kembali pada diri masing-masing).
Sedangkan masalah ghibah atau bisnis, baru dilakukan setelah selesai kebaktian, tepatnya saat ramah-tamah.

Sahabat, Astrid adalah segelintir dari insan yang sungguh peduli pada pengajian. Akankah qt biarkan semangat muhasabahnya pudar, hanya karena sikap 'salah kaprah' mereka yang memandang pengajian itu hanyalah ajang kumpul-kumpul, makan-makan dan bisnis?

ASTAGHFIRULLAAHAL ADHIIM



Tidak ada komentar:

Posting Komentar