Setelah menunaikan sholat Maghrib, kami duduk-duduk santai di warung kecil tepat didepan Masjid sekaligus Makam Mbah Kholil. Sembari menikmati camilan yang ada di warung, kami terlibat percakapan dengan pemilik warung. Sambil melihat keramaian para peziarah yang baru datang dan yang akan pulang, pemilik warung bercerita banyak kepada kami, mulai dari kakeknya yang merupakan santri Mbah Kholil sampai para peziarah yang dikenalnya rutin datang ke Makam Mbah Kholil.
Dari sekian cerita pemilik warung, ada satu cerita yang kami rasakan sangat dalam hikmahnya bagi kami. Dan cerita inilah yang ingin saya bagikan kepada sahabat sekalian.
Beberapa tahun lalu, ada seorang nenek tua penjual bunga cempaka. Ia berjualan bunga di pasar yang lokasinya cukup jauh dari Masjid Mbah Kholil. Siang harinya usai berjualan, ia datang dengan berjalan kaki ke Masjid Mbah Kholil. Ia berwudhu, lalu masuk masjid, dan melakukan sholat Dzuhur. Setelah membaca wirid sekedarnya, ia-pun keluar dari dalam masjid. Ia langsung menuju pekarangan Masjid, disana dengan terbungkuk-bungkuk, dikumpulkannya dedaunan yang berceceran di halaman masjid. Selembar demi selembar dipungutnya, hingga tidak satu lembar pun ia lewatkan.
Begitulah setiap hari nenek tua itu selalu datang, dan melakukan pekerjaan tersebut, tanpa mengeluarkan suara satu patah kata-pun. Dibawah terik matahari Madura yang sungguh menyengat, ia tetap membersihkan halaman masjid dengan cara tersebut. Melihat pekerjaan sang nenek banyak peziarah yang jatuh iba kepadanya.
Hingga pada suatu hari pengurus Masjid dan Makam memutuskan untuk membersihkan dedaunan tersebut sebelum perempuan tua itu datang. Tak lama kemudian, nenek datang. Setelah ia melakukan ibadah didalam masjid, ia seperti biasa keluar ke halaman masjid. Terkejutlah ia, ketika melihat tak ada selembar daun yang terserak di sana. Ia lalu berlari kembali ke dalam masjid dan menangis dengan keras.
Orang-orang-pun datang menghampiri nenek dan mencoba menenangkannya. Dengan kesedihan yang mendalam, ia mempertanyakan mengapa daun-daun itu sudah dibersihkankan sebelum kedatangannya. Lalu mereka menjelaskan bahwa hal itu dilakukan semata-mata karena iba kepadanya.
“Jika kalian kasihan kepadaku,” kata nenek. ”Biarkanlah aku untuk membersihkannya.” Mendengar perkataan itu, orang-orang yang mengerumuninya, terheran-heran, tidak paham akan permintaan sang nenek.
Singkat cerita, akhirnya sang nenek dibiarkan mengumpulkan dedaunan seperti biasa. Sampai suatu ketika ada seorang kyai, bertanya kepadanya, perihal semangat kebersihan yang aneh tersebut. Sang nenek lalu menjelaskan, ”Saya ini perempuan bodoh, Pak Kyai”, tuturnya.
Beberapa tahun lalu, ada seorang nenek tua penjual bunga cempaka. Ia berjualan bunga di pasar yang lokasinya cukup jauh dari Masjid Mbah Kholil. Siang harinya usai berjualan, ia datang dengan berjalan kaki ke Masjid Mbah Kholil. Ia berwudhu, lalu masuk masjid, dan melakukan sholat Dzuhur. Setelah membaca wirid sekedarnya, ia-pun keluar dari dalam masjid. Ia langsung menuju pekarangan Masjid, disana dengan terbungkuk-bungkuk, dikumpulkannya dedaunan yang berceceran di halaman masjid. Selembar demi selembar dipungutnya, hingga tidak satu lembar pun ia lewatkan.
Begitulah setiap hari nenek tua itu selalu datang, dan melakukan pekerjaan tersebut, tanpa mengeluarkan suara satu patah kata-pun. Dibawah terik matahari Madura yang sungguh menyengat, ia tetap membersihkan halaman masjid dengan cara tersebut. Melihat pekerjaan sang nenek banyak peziarah yang jatuh iba kepadanya.
Hingga pada suatu hari pengurus Masjid dan Makam memutuskan untuk membersihkan dedaunan tersebut sebelum perempuan tua itu datang. Tak lama kemudian, nenek datang. Setelah ia melakukan ibadah didalam masjid, ia seperti biasa keluar ke halaman masjid. Terkejutlah ia, ketika melihat tak ada selembar daun yang terserak di sana. Ia lalu berlari kembali ke dalam masjid dan menangis dengan keras.
Orang-orang-pun datang menghampiri nenek dan mencoba menenangkannya. Dengan kesedihan yang mendalam, ia mempertanyakan mengapa daun-daun itu sudah dibersihkankan sebelum kedatangannya. Lalu mereka menjelaskan bahwa hal itu dilakukan semata-mata karena iba kepadanya.
“Jika kalian kasihan kepadaku,” kata nenek. ”Biarkanlah aku untuk membersihkannya.” Mendengar perkataan itu, orang-orang yang mengerumuninya, terheran-heran, tidak paham akan permintaan sang nenek.
Singkat cerita, akhirnya sang nenek dibiarkan mengumpulkan dedaunan seperti biasa. Sampai suatu ketika ada seorang kyai, bertanya kepadanya, perihal semangat kebersihan yang aneh tersebut. Sang nenek lalu menjelaskan, ”Saya ini perempuan bodoh, Pak Kyai”, tuturnya.
“Saya tahu amal-amal yang saya lakukan kecil, dan mungkin juga belum sepenuhnya benar saya jalankan. Saya tahu bahwa saya tidak mungkin selamat pada hari akhirat tanpa syafa’at Kanjeng Nabi Muhammad saw. Maka setiap kali saya memungut selembar daun, saya mengucapkan satu sholawat untuk Rasulullah. Kelak bila saya wafat, saya ingin Kanjeng Nabi menjemput saya. Jadi biarlah semua daun itu menjadi saksi bagi saya, bahwa saya telah membacakan sholawat kepada-nya.”
Melalui kisah diatas, sebuah pelajaran akhlaq yang mulia bisa menjadi contoh bagi kita semua. Untuk senantiasa bersholawat kepada Baginda Rasulullah saw, agar di akhir hidup kita masing-masing dan di hari pembalasan, Beliau sudi menjemput dan memberikan syafa’atnya untuk kita umatnya.
Melalui kisah diatas, sebuah pelajaran akhlaq yang mulia bisa menjadi contoh bagi kita semua. Untuk senantiasa bersholawat kepada Baginda Rasulullah saw, agar di akhir hidup kita masing-masing dan di hari pembalasan, Beliau sudi menjemput dan memberikan syafa’atnya untuk kita umatnya.
“Manusia paling utama di sisiku kelak di hari Kiamat, yaitu mereka yang terbanyak bershalawat kepadaku.” (Nabi Muhammad saw)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar