Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabaarakatuhu wamaghfiraatuhu waridhwaanuh

Selasa, 20 September 2011

BERKECUKUPAN

Dikisahkan ada seorang petani yang hidup sendiri disebuah rumah yang sederhana. Istrinya telah lama berpulang ke Rahmatullah, sedangkan anak-anaknya, masing-masing telah berumahtangga. Untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari selain ia bekerja sebagai seorang petani bayaran, ia juga merawat kambing-kambing milik tetangganya.
Setelah menunaikan shalat Subuh dan mereguk secangkir teh hangat, berangkatlah sang petani ke sawah. Kemudian setelah menunaikan shalat Dzuhur dan beristirahat sambil melahap sepiring nasi, lalapan, sambal dan sepotong ikan asin, kembali ia meneruskan pekerjaannya di sawah. Ketika terdengar adzan Ashr berkumandang, bergegaslah ia pulang, membersihkan tubuh dan menunaikan shalat Ashr. Tanpa sempat beristirat, ia langsung memberi makan kambing-kambing tetangganya, lalu dilanjut dengan membersihkan kandangnya. Barulah Maghrib ia pulang dan shalat. Setelah menunaikan shalat Isya ia tidur. Begitulah setiap hari kegiatan sang petani.

Tanpa disadari sang petani, beberapa tetangganya ternyata memperhatikan dirinya. Pasalnya, setiap kali ia shalat berjama'ah di Masjid, pakaian yang dikenakannya hanyalah koko hijau dan sarung yang sudah pudar warnanya dan bila shalat Jum'at ia mengenakan koko putih dan sarung yang juga sudah lusuh.
Ketika ada pertemuan dibalai desa atau ada hajatan warga, ia mengenakan salah satu dari koko yang ia pakai untuk shalat tadi.

Melihat hal tersebut para tetangga sang petani bersepakat ingin memberikan hadiah sebuah kemeja batik, dengan harapan, semoga sang petani dapat terlihat layak bila menghadiri acara dibalai desa maupun bila menghadiri hajatan warga.

Waktupun berlalu, para tetangga terus memperhatikan kehidupan sang petani. Mereka melihat kemeja batik yang diberikan ternyata jarang sekali dipakai sang petani, sekalipun di balai desa maupun hajatan. Tergelitik keinginan tahuan mereka, kemudian mereka bertamu kerumah sang petani. 


Terlihat kemeja batik tergantung dengan rapih di pojok ruang rumah sederhana itu. Salah satu dari mereka bertanya, "Pak, kemeja batiknya masih bagus ya, seperti baru."
"Begitulah saya menghargai pemberian orang, pak", jawab sang petani.
"Tetapi kenapa jarang dipakai? Kan bapak kelihatan gagah kalau dipakai, apalagi kalau ada acara dibalai desa maupun hajatan", sahut yang lain.
"Sebenarnya saya telah merasa berkecukupan dengan pakaian yang saya miliki, rencananya kalau memang benar-benar sudah tidak layak, barulah saya akan sering memakai kemeja batik ini", jelas sang petani dengan tersenyum.
Tetangganya pun mengangguk-angguk berusaha memahami.
"Lagian pak, sebenarnya kehadiran saya kan yang lebih diharapkan, bukan dari pakaian yang saya kenakan", tambah sang petani lagi.

Walau terasa janggal sikap sang petani, namun ada suatu hikmah yang bisa kita ambil dari kisah ini. Yaitu rasa menghargai dan rasa berkecukupan dari dirinya. Ia tidak lagi tergoda dengan silaunya dunia, apa yang dimilikinya telah dirasa cukup dan disyukurinya. Justru dengan kesederhanaannya itu, telah menambah nilai muhasabah dirinya kepada sang Khalik. Bisakah kita seperti sang petani tersebut?


Dijadikan indah pada (pandangan) manusia 
kecintaan kepada apa-apa yang diingini, 
yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak 
dari jenis emas, perak, kuda pilihan, 
binatang-binatang ternak dan sawah ladang. 
Itulah kesenangan hidup di dunia, 
dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). 
(Ali-`Imraan [3]: 14)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar