Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabaarakatuhu wamaghfiraatuhu waridhwaanuh

Senin, 12 September 2011

KEIKHLASAN SANG MARBOT


Sebuah perbuatan akan bercahaya bila berbahan bakar keikhlasan. (HR Tarmidzi)


Kisah ini diawali dengan kegiatan rutin bulanan di padepokan IlhamTaqwa, yaitu berziarah ke Makam para Waliullah. Ketika itu kami singgah disebuah Masjid sederhana dipinggir jalan untuk beristirahat dan menunaikan shalat Dzuhur. Layaknya orang yang mau sholat, kami mencari kamar mandi dan tempat wudhu. 

Tepat didepan pintu kamar mandi, salah seorang teman kami, tiba-tiba melihat seseorang lelaki yang seperti dikenalinya. Untuk sementara dia tertegun. “Tidak salahkah penglihatanku. Itukan Soleh, teman SMP yang terkenal sangat pintar?” tanyanya pada diri sendiri. Untuk beberapa saat teman kami mengamati Soleh yang tengah membersihkan kamar mandi dan tempat wudhu. Lelaki itu berpakaian khas marbot masjid; kaos , celana buntung, dan kupluk haji yang menempel di kepalanya.
Namun karena waktu sholat Dzuhur hampir habis, ditundanya niat untuk menegur teman lamanya tersebut.

Teman kami ini selanjutnya ku sebut Sofyan, setelah melaksanakan sholat Dzuhur, segera ia kembali ke kamar mandi. Ternyata teman SMP-nya masih berada disana dan tengah mengepel.
“Assalamualaikum…,” sapa Sofyan dengan hati-hati, khawatir salah kenal. Ternyata penglihatannya tidak salah, lelaki yang disapa benar-benar Soleh. Mereka saling berjabat tangan dan berpelukan, maklum lama tidak jumpa. Selanjutnya mereka berdua terlibat percakapan.

Selang beberapa saat, Sofyan kemudian bertanya, “Leh, sampean kan terkenal pintar waktu sekolah dulu, malah selalu mendapat ranking. Kok mau jadi marbot?”
Sambil tersenyum Soleh menjawab, “Memangnya ada yang salah dengan pekerjaan ini? Bukannya malah bagus. Disamping ibadah dan berpahala, masjid ini-pun jadi bersih. Nah, kalau bersih, yang shalat ikut jadi senang dan betah. ”
“Tapi..., penghasilannya kan tidak sepadan”, sanggah Amir.
Sambil me-lap dinding tempat wudhu, Soleh hanya membalas dengan senyum.

Terlintas dipikiran Sofyan untuk mengajak Soleh bergabung pada usaha pembuatan tahunya.
“Gimana kalau sampean ikut saya?”
“Maksudnya?”
“Ya, kerja sama saya. Sampean nanti saya gaji, pastilah lebih besar dari gaji sebagai marbot. Tapi ngomong-ngomong sampean digaji ndak, sih?”
“Ndak.”
“Wuah, apalagi. Sudah kerja sama saya saja, ya. Pendidikan terakhir?”
“Sarjana Elektro.”
“Waduh, tambah ndak pantas. Mosok sarjana elektro jadi marbot.”

Saking asyiknya mereka bercakap-cakap, tidak terasa sudah waktunya untuk adzan Ashar. Soleh-pun berpamitan sebentar untuk melakukan adzan Ashar. Sepeninggal Soleh, Sofyan kemudian duduk ditangga masjid sambil termangu-mangu memikirkan nasib teman lamanya tersebut. 

Tiba-tiba duduklah seorang anak muda disisi Sofyan dan langsung bertanya, ”Maaf pak, Bapak kelihatan kenal dengan Abah Yai Soleh, ya?”
“Kyai, beliau seorang Kyai?”, Sofyan kaget bukan main. ” Ya... ya, beliau teman sekelas saya semasa SMP.”
“Abah Yai itu orangnya sangat dermawan dan kaya, pak. Masjid ini beliau yang bangun.” tambah si anak muda.
“Abah Yai sangat rendah hati dan sederhana. Aku anak santrinya.” 
Kemudian berceritalah si anak muda, perihal kehidupan Soleh.

Ternyata Soleh adalah seorang pengusaha alat-alat listrik dan toko bangunan yang sukses. Ia mengakui bahwa kesuksesan yang di perolehnya ini adalah karena ia sangat menjaga sholat berjamaah dan mencintai masjid. Makanya, kala ia sukses, ia kemudian membangun masjid tersebut. Bahkan ia berkhidmat pada hamba-hamba Allah yang shalat di masjidnya. Masya Allah. Sekejap, Sofyan dihinggapi rasa malu bukan main.

Sofyan telah merendahkan “jabatan” seorang marbot masjid. Ketika seseorang justru membanggakan dirinya sebagai pendiri atau pendana sebuah masjid, Soleh malah menyembunyikan amalnya. “ Ikhlas nian, sampean, Soleh”, kata Sofyan terenyuh dibalik istighfarnya.

Tanpa perlu meng-gembar-gembor, Allah sudah membanggakan hamba-hamba-Nya yang ikhlas. Allah bangga terhadap Soleh membuat ia bercahaya.


Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? 
(An-Nisaa’: 125)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar