Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabaarakatuhu wamaghfiraatuhu waridhwaanuh

Selasa, 13 September 2011

MUADZIN RASULULLAH YANG BUTA

Siapakah laki-laki itu, yang karenanya Nabi Muhammad saw mendapat teguran dari Allah dan menyebabkan beliau sakit? Siapakah dia, yang karena peristiwanya, Jibril al-Amin harus turun membisikkan wahyu Allah ke dalam hati Rasulullah saw? Dia adalah Abdullah bin Ummi Maktum, muadzin Rasulullah.

Abdullah Ummi Maktum adalah orang Mekah, dari suku Quraisy. Ia mempunyai ikatan keluarga dengan Rasulullah, yakni anak paman Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid ra. Ayahnya Qais bin Zaid, dan ibunya Atikah binti Abdullah. Ibunya bergelar “ummi maktum”, karena anaknya, Abdullah, lahir dalam keadaan buta total.
Ketika cahaya Islam mulai memancar di Mekah, ia termasuk kelompok yang pertama-tama masuk Islam. Ia turut menderita siksaan kaum Quraisy seperti yang diderita kawan-kawannya seagama, berupa penganiayaan dan berbagai macam tindak kekerasan lainnya.

Pada suatu hari Rasulullah saw bertatap muka dengan ‘Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, ‘Amr bin Hisyam alias Abu Jahal, Umayyah bin Khalaf dan Walid bin Mughirah, ayah Syaifullah Khalid bin Walid. Beliau sangat ingin mereka menerima dakwah dan menghentikan penganiayaan terhadap para sahabat beliau. Sementara, beliau berunding dengan sungguh-sungguh, tiba-tiba Abdullah bin Ummi Maktum datang mengganggu minta dibacakan kepadanya ayat-ayat Alquran. Kata Abdullah, “Ya Rasulullah, ajarkanlah kepadaku ayat-ayat yang telah diajarkan Allah kepada engkau.”

Rasulullah terlengah untuk memperdulikan permintaan Abdullah bin Ummi Maktum. Bahkan, beliau agak acuh terhadap interupsinya itu. Lalu beliau membelakangi Abdullah dan melanjutkan pembicaraan dengan para pemimpin Quraisy tersebut. Selesai berbicara dengan mereka, Rasulullah bermaksud hendak pulang. Tiba-tiba penglihatan beliau menjadi gelap dan kepala beliau terasa sakit seperti kena pukul.

Kemudian, Allah mewahyukan firman-Nya kepada Rasulullah,

“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena seorang buta datang kepadanya. Tahukah kamu, barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberikan manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal, tidak ada (celaan) atasmu kalau mereka tidak membersihkan diri (beriman). Adapun orang yang datang kepadamu dengan bergegas (untuk mendapatkan pengajaran), sedangkan ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan (begitu)! Sesungguhnya ajaran itu suatu peringatan. Maka siapa yang menghendaki, tentulah ia memperbaikinya. (Ajaran-ajaran itu) terdapat di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para utusan yang mulia lagi (senantiasa) berbakti.” (Abasa: 1 — 16). 

Enam belas ayat itulah yang disampaikan Jibril al-Amin ke dalam hati Rasulullah saw, sehubungan dengan peristiwa Abdullah bin Ummi Maktum. Sejak hari itu Rasulullah tidak lupa memberikan tempat yang mulia bagi Abdullah apabila dia datang. Beliau menyilakan duduk di tempat duduknya, lalu beliau tanyakan keadaannya, dan beliau penuhi kebutuhannya. Tidaklah heran kalau beliau memuliakan Abdullah sedemikian rupa, bukankah teguran dari Allah itu sangat keras!

Setelah Rasulullah saw tiba di Madinah, beliau mengangkat Abdullah bin Ummi Maktum serta Bilal bin Rabah menjadi muadzin Rasulullah. Mereka berdua bertugas meneriakkan kalimah tauhid (adzan) lima kali sehari semalam, mengajak orang banyak beramal saleh dan mendorong masyarakat merebut kemenangan. Apabila Bilal adzan, Abdullah qamat dan bila Abdullah adzan, Bilal qamat.

Dalam bulan Ramadhan tugas mereka bertambah. Dikala Bilal adzan tengah malam membangunkan kaum muslimin untuk makan sahur, maka Abdullah adzan ketika fajar menyingsing, untuk memberi tahu kaum muslimin waktu imsak.

Beberapa kali Rasulullah mengangkat Abdullah bin Ummi Maktum menjadi wali kota Madinah menggantikan beliau apabila meninggalkan kota. Tujuh belas kali jabatan tersebut dipercayakan beliau kepada Abdullah.

Ketika musim berperang melawan para kafirun datang, Allah banyak menurunkan ayat-ayat kepada umat Nabi Muhammad saw. Namun karena kebutaannya banyak ayat-ayat Al-Quran tentang Allah mengangkat derajat kaum muslimin yang pergi berperang fi sabilillah, sukar diamalkan Abdullah bin Ummi Maktum karena ia buta. 

Lalu ia berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah! Seandainya saya tidak buta, tentu saya pergi perang.” Ia lalu memohon kepada Allah dengan hati yang penuh tunduk semoga Allah menurunkan ayat-ayat yang menerangkan tentang orang-orang yang cacat (uzur) seperti dia, tetapi hati mereka ingin sekali hendak berperang. Ia berkata, “Wahai Allah! Turunkanlah wahyu mengenai orang-orang yang uzur seperti aku!” Tidak berapa lama, kemudian Allah SWT memperkenankan doanya.

Zaid bin Tsabit, sekretaris Rasulullah saw. yang bertugas menuliskan wahyu, menceritakan, “Aku duduk di samping Rasulullah saw. Tiba-tiba beliau diam, sedangkan paha beliau terletak di atas pahaku. Aku belum pernah merasakan beban yang paling berat melebihi berat paha Rasulullah ketika itu. Sesudah beban berat yang menekan pahaku hilang, beliau bersabda, “Tulis, hai Zaid!” Lalu aku menuliskan, “Tidak sama orang-orang mu’min yang duduk (tidak turut berperang) dengan pejuang-pejuang yang berjihad fi sabilillah.” (An-Nissa’: 95).

Abdullah Ummi Maktum berdiri seraya berkata, “Ya Rasulullah, bagaimana dengan orang-orang yang tidak sanggup pergi berjihad (berperang) karena cacat?” Selesai pertanyaan Abdullah, Rasulullah terdiam dan paha beliau menekan pahaku, seolah-olah aku menanggung beban berat seperti tadi. Setelah beban berat itu hilang, Rasulullah saw. berkata, “Coba, baca kembali yang telah engkau tulis!” Aku membaca, “Tidak sama orang-orang mu’min yang duduk (tidak turut berperang)” Lalu kata beliau, “Tulis! Kecuali bagi orang-orang yang tidak mampu.”

Maka, turunlah pengecualian yang ditunggu-tunggu Abdullah Ummi Maktum. Meskipun demikian, ia enggan bersantai-santai beserta orang-orang yang tidak turut berperang. Ia tetap membulatkan tekad untuk turut berperang fi sabiilillah. Katanya, “Tempatkan saya di antara dua barisan sebagai pembawa bendera. Saya akan memegangnya erat-erat untuk kalian. Saya buta, karena itu saya pasti tidak akan lari.”

Tahun ke 14 H, Khalifah Umar bin Khaththab ra memutuskan akan memasuki Persia, untuk menggulingkan pemerintah yang dzalim disana. Umar memerintahkan kepada setiap gubernur dan pembesar dalam pemerintahannya. “Jangan ada seorang pun yang ketinggalan dari orang-orang yang bersenjata, atau orang yang mempunyai kuda, atau yang berani atau yang berpikiran tajam, melainkan hadapkan semuanya kepada saya sesegera mungkin!” Maka, berkumpullah kaum muslimin di Madinah dari segala penjuru, memenuhi panggilan Khalifah Umar bin Khaththab. Di antara mereka terdapat Abdullah bin Ummi Maktum.

Setelah pasukan besar itu sampai di Qadisiyyah, Abdullah bin Ummi Maktum memakai baju besi dan perlengkapan yang sempurna. Ia tampil sebagai pembawa bendera kaum muslimin dan berjanji akan senantiasa mengibarkannya atau mati di samping bendera itu.

Pada hari ketiga perang berkecamuk dengan hebat. Kaum muslimin berhasil memenangkan perang tersebut dengan kemenangan paling besar. Maka, berpindahlah kekuasaan kerajaan Persia ke tangan kaum muslimin.

Kemenangan yang meyakinkan itu dibayar dengan darah dan jiwa dari ratusan para syuhada. Di antara mereka yang syahid itu terdapat Abdullah bin Ummi Maktum yang buta. Dia ditemukan terkapar di medan tempur berlumuran darah.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar